Beranda | Artikel
Peran Ijma Dalam Penetapan Hukum Islam
Jumat, 7 Januari 2011

PERAN IJMA’ DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM

Oleh
Ustadz Zainal Abidin

IJMA’ MENURUT BAHASA
Ijma’, secara etimologi berasal dari kalimat ajma’a yujmi’u Ijma’an dengan isim maf’ul mujma yang memiliki dua makna.

Pertama. Ijma’ secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat [1]. Oleh karena itu, jika dikatakan “ajma’a fulan ‘ala safar”, berarti bila ia telah bertekad kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’alal :

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ

… Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…. [Yûnus/10:71].

Kedua. Ijma’ secara etimologi juga memiliki makna sepakat [2]. Jika dikatakan “ajma’ muslimun ‘ala kadza”, berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan untuk selamanya.[3]

IJMA’ MENURUT ISTILAH
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma’ menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma’. Namun definisi Ijma’ yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama.[4]

Penjelasan Definisi Ini Sebagai Berikut :
Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata “para ulama ahli ijtihad” dalam definisi ini memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma’. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap ijma.

Ijtihad, maksudnya pengerahan kemampuan pikiran secara maksimal untuk menghasilkan putusan hukum.(berdasarkan dalil-dalil syar’i,-red)

Setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (maksudnya Ijma’ itu terjadi setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, -red). Karena Ijma’ pada masa hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran semua hukum diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui perantara wahyu.

Pada masa tertentu, ini memberikan penegasan bahwa Ijma’ tidak harus muncul dari kesepakatan para ulama sepanjang masa hingga Kiamat, bahkan hanya pada masa hidupnya para ulama ahli ijtihad pada saat terjadinya masalah saja.

Perkara agama, yaitu mencakup semua urusan yang terkait dengan masalah syar’iyah,’aqliyah, ‘urfiyah dan bahasa. Maksud umat adalah umat ijabah, atau mereka yang mengikuti ajaran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti umat dari kalangan ahli bid’ah tidak termasuk kelompok ahli ijtihad.[5]

Ijma’ tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi Ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil dari Sulaiman bahwa tidak ada Ijma’ kecuali Ijma’ Sahabat [6]. Ada juga yang berpendapat bahwa Ijma’ bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang hanya membatasi Ijma’ pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.[7]

HAKIKAT IJMA’
Hakikat Ijma’, seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah kesepakatan para ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma’ telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma’ tersebut, karena mustahil umat Islam sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang diklaim tetap berdasarkan Ijma’ ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari sisi Al-Qur`ân dan Sunnah.[8]

Ijma’ merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`ân dan Sunnah. Tidak terdapat ketetapan Ijma’ yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan tabi’in; maka Ijma’ sebagai sumber hukum qath’i tidak tetap, kecuali berdasarkan Al-Qur`ân, Sunnah yang shahih -terutama hadits-hadits muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis; sehingga mustahil Ijma’ bertentangan dengan Al-Qur`ân dan Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis.[9]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Tidak ada Ijma’ kecuali pasti berdasarkan nash agama, baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga (yang) pasti sampai kepada kita secara manqul”. [10]

PERAN IJMA’ DALAM PENETAPAN HUKUM
Jumhur ulama berpandangan, Ijma’ mempunyai bobot hujjah syar’iyyah sangat kuat dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama; karena Ijma’ bersandar pada dalil syar’i, baik secara eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama berpandangan, Ijma’ merupakan hujjah syar’iyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak hanya berlaku untuk Ijma’ para sahabat saja, tetapi juga Ijma’ para ulama pada setiap generasi dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk tidak bersepakat berada di atas kesesatan.

Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu diperhitungkan keberadaannya, karena para ulama Islam telah sepakat untuk menjadikan Ijma’ sebagai hujjah syar’i dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`ân, Sunnah dan logika.

Pertama : Ijma’ Menurut Pandangan Al-Qur`ân.
Pijakan dan landasan Ijma’ dari Al-Qur`ân sangat banyak, antara lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…. [Ali ‘Imrân/3:103]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [an-Nisâ`/4 : 115].

Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama orang-orang beriman dan menentang Ijma’ umat Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil paling kuat, bahwa Ijma’ menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syar’iyyah, sehingga apapun kesepakatan mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang Ijma’, berarti telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas.[11]

Kedua : Ijma’ Menurut Pandangan Sunnah.
Landasan Ijma’ yang berasal dari Sunnah, antara lain ialah:
a. Dari ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَماعَةِ

Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.[12]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma’. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma’. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin”. [13]

b. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang terpeliharanya umat secara kolektif dari kesalahan dan kesesatan.
Hadits-hadits tersebut, meskipun tidak sampai pada derajat mutawatir secara lafazh, namun mutawatir dari sisi makna. Di antaranya adalah sabda beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم عَلَى ضَلاَلَةٍ

Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.[14]

Imam al-Ghazali berkata: “Banyak riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bermacam redaksi, yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara bersama-sama (kolektif). Seluruh riwayat di atas telah jelas di hadapan para sahabat dan tabi’in hingga masa kita sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang menolaknya dari kalangan ahli hadits, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak Ijma’. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu` agama”.[15]

c. Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ .

Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada di atas kebenaran, tidak mampu menimpakan bahaya orang-orang yang merendahkan hingga datang perkara Allah, mereka dalam keadaan demikian.[16]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menjadi dasar paling kuat bahwa Ijma’ adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan Ijma’ paling shahîh”. [17]

Begitu juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ .

Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan. [18]

Ketiga : Menurut Dalil Logika.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus hukum yang muncul tidak ada nash yang qath’i, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para ulama berijma’ terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma’ mereka tidak menjadi hujjah dalam agama, berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan. Yang demikian itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan demikian itu jelas suatu kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma’ mereka sebagai hujjah, agar ajaran syariat bertahan selamanya.

SYUHBAT SEPUTAR IJMA’
Telah dinisbatkan kepada Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau mengingkari adanya Ijma’ dan mereka menyatakan bahwa beliau berkata: “Barang siapa yang mengklaim adanya Ijma’ maka ia telah berdusta”.[19]

Para ulama meluruskan pernyataan beliau sebagai berikut.

Pertama : Maksud Imam Ahmad rahimahullah, bahwa mustahil Ijma’ hanya diketahui oleh segelintir ulama, sedangkan yang lain tidak mengetahuinya, karena kalau benar-benar keputusan Ijma’ atas suatu hukum telah terjadi, maka ulama lainnya pasti mengetahuinya, bahkan pasti telah sampai kepada hampir seluruh para ulama.

Kedua: Pernyataan beliau menunjukkan kehati-hatian, agar seseorang tidak sembarangan mengklaim adanya Ijma’, karena bisa jadi ada perbedaan di antara para ulama namun perbedaan pendapat tersebut belum sampai kepada ulama yang mengklaim Ijma’ tersebut.

Oleh karena itu, sebaiknya tidak memastikan adanya Ijma’. Sehingga ‘Abdullah, putera Imam Ahmad rahimahullah menukil dari bapaknya, ia berkata: Barang siapa yang mengklaim adanya Ijma’ maka ia telah berdusta, karena tidak tertutup kemungkinan para ulama lain berbeda pendapat. Akan tetapi, sebaiknya berkata, “Kami tidak mengetahui perbedaan di antara para ulama dalam masalah ini”. Inilah pelurusan yang dipilih Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [20]

Atau seperti pernyataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Saya belum pernah mengetahui para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini”. Beliau rahimahullah mengucapkan pernyataan di atas dalam konteks membantah dan mengingkari pemikiran para fuqaha Mu’tazilah yang sering mengklaim Ijma’ umat untuk menguatkan pemikiran mereka. Padahal pengetahuan mereka sangat kerdil terhadap pendapat para sahabat dan tabi’in, sehingga mereka menolak kebenaran dengan dalih Ijma’ palsu. [21]

Ketiga : Imam Ahmad rahimahullah tidak mengingkari Ijma’, namun beliau ingin menegaskan bahwa sangat sulit terjadinya Ijma’ pasca generasi sahabat, karena para ulama berpencar di seluruh penjuru dunia, sehingga yang paling baik dikatakan bahwa di antara para ulama tidak berbeda pendapat dalam masalah.

Pernyataan yang terbaik untuk meluruskan pendapat Imam Ahmad rahimahullah adalah pendapat Ibnu Qayyim rahimahullah, bahwa ini bukanlah pernyataan Imam Ahmad rahimahullah, namun dari Bisyr al-Murisyi dan al-Asham, yang keduanya merupakan tokoh sentral Mu`tazilah [22]. Mereka berkata dalam riwayat Ibnu Harits, bahwa tidak sebaiknya seseorang mudah mengklaim Ijma’ karena barangkali umat manusia berbeda pendapat.

Dengan penjelasan demikian itu, tidak berarti Imam Ahmad rahimahullah menolak adanya Ijma’, tetapi Imam Ahmad rahimahullah dan para ulama ahli hadits direpotkan dengan orang yang mengklaim Ijma’ untuk menolak Sunnah shahîhah, sehingga Imam Syafi’i rahimahullah dan dan Imam Ahmad rahimahullah menepisnya bahwa klaim itu dusta, dan Sunnah tidak boleh ditolak karena berdalih adanya Ijma’ seperti itu.

IJMA’ TIDAK BISA BATAL KARENA IJMA’
Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma’ bersandar pada dalil. Imam al-Amidi meriwayatkan, ulama telah bersepakat dalam hal itu dan tidak perlu dihiraukan pendapat lain yang menyelisihinya. Adapun sandaran dalil Ijma’, bisa berasal dari al-Kitab dan Sunnah, baik mutawatir atau khabar ahad atau Qiyas, atau indikasi kuat adanya kebenaran.[24]

Ijma’ tidak boleh dibatalkan dengan Ijma’ serupa, terutama Ijma’ generasi Salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in, karena mereka tidak mungkin sepakat di atas kesesatan, bahkan seluruh generasi berikutnya wajib mengikuti manhaj dan prinsip agama mereka secara baik. Syaikh bin Baz rahimahullah berkata: “Generasi terakhir tidak boleh menyelisihi kesepakatan ulama sebelum mereka, karena Ijma’ adalah sebuah kebenaran dan termasuk sumber hukum syariat ketiga yang wajib menjadi rujukan hukum agama, yaitu al-Kitab, Sunnah dan Ijma’.[25]

Meski demikian, tidak semua kesepakatan umat Islam bisa dianggap Ijma’ yang mu’tabar. Ijma’ yang hakiki hanyalah Ijma’ para ulama, sedangkan Ijma’nya orang-orang awam tidak bisa menjadi hujjah. Sehingga Ijma’ tentang hukum fikih bisa diakui bila berasal dari ahli fikih. Ijma’ tentang perkara ‘aqidah bisa dianggap bila berasal dari ulama Ushuluddin Ijma’ tentang ilmu nahwu, bisa dinyatakan sah bila muncul dari ulama ahli nahwu, dan selain mereka termasuk katagori awwam. Ijma’ yang sejati, ialah Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan para sahabat, karena umat setelah mereka telah timbul ikhtilaf sangat banyak dan menyebar di tengah umat.[26]

Menurut seluruh umat Islam, ahli Qiblat bahwa Ijma’ memiliki bobot hujjah yang qath’i dan secara pasti memberi faidah ilmu, sehingga tidak perlu dihiraukan kelompok yang menyelesihi Ijma’, seperti an-Nadzdzam al-Mu’tazili, Syi’ah dan sebagian kaum Khawarij; karena kelompok minoritas yang tumbuh setelah terjadinya kesepakatan untuk menerima Ijma’ menjadi sumber hukum agama. Apalagi landasan Ijma’ sangat jelas, baik dari al-Kitab, Sunnah, dan logika serta realita indrawi”.[27]

FAIDAH IJMA’ DALAM PENETAPAN HUKUM
Para ulama yang menyatakan Ijma’ bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat apakah Ijma’ memberi faidah qath’i atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah ini, terbagi menjadi tiga kelompok [28].

Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma’ menjadi hujjah qath’i dalam agama Islam.
Kedua. : Ijma’ tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma’ itu bersandar pada dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.
Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma’ yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan Ijma’ yang masih diperselisihkan, seperti Ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni. Dan inilah yang shahîh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh.

HUKUM MENOLAK IJMA’
Kelompok yang menolak Ijma’ bisa berbentuk penolakan Ijma’ sebagai dalil atau menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma’:

Pertama : Mengingkari Ijma’ sebagai hujjah dan dalil dalam agama, menurut sebagian ulama hukumnya kafir. Sebagaimana telah ditegaskan penulis kitab Kasyful-Asrar, ia menegaskan, barang siapa yang mengingkari Ijma’ maka ia telah membatalkan seluruh agamanya karena kebanyakan landasan usuluddin berasal pada Ijma’ kaum muslimin.

Namun secara umum, pokok-pokok ajaran agama Islam bersumber dari Al-Qur`ân dan Sunnah, dan keduanya menunjukkan adanya Ijma’ secara zhanni, tidak qath’i. Sehingga, seorang yang mengingkari Ijma’, ia tidak dikafirkan, namun bisa dinyatakan sebagai ahli bid’ah atau fasiq.

Kedua : Menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma’, maka sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan orang yang menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ adalah kurang tepat, karena hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ bertingkat-tingkat.

a. Hukum yang dikenal secara mudah oleh setiap orang, baik dari kalangan para ulama atau kaum awam, seperti masalah tauhid, Allah paling berhak disembah, kenabian Muhammad n dan beliau sebagai penutup para nabi, datangnya kiamat, kebangkitan, alam akhirat, hisab, surga dan neraka. Begitu juga masalah dasar-dasar syariat, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Atau haramnya bangkai, darah dan daging babi. Barang siapa yang mengingkari dalam masalah ini maka jelas ia telah kafir.

b. Hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ yang qath’i, seperti haramnya menghimpun antara wanita dengan bibinya dalam satu ikatan pernikahan, haramnya berdusta atas nama Rasulullah, dan semisalnya. Sehingga seseorang yang mengingkari hukum seperti ini, maka bisa dikafirkan, karena dia mengingkari hukum syar’i yang tetap berdasarkan dalil yang qath’i.

c. Hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ zhanni, seperti Ijma’ Sukuti atau hukum yang hampir tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat langka. Maka orang menolak Ijma’ ini divonis sebagai ahli bid’ah atau fasiq; dan ia tidak boleh dikafirkan lantaran menyelisihi dan menolak dalil yang wajib diamalkan menurut jumhur ulama, meskipun bobotnya zhanni.

IJMA’ DALAM MASALAH ‘AQIDAH
Ahli kalam dan ahli filsafat mengingkari adanya Ijma’ dalam bidang ‘aqidah. Alasan mereka bahwa aqidah termasuk masalah yang menjadi garapan dan penemuan akal. Sedangkan penemuan akal tidak membutuhkan dalil pendukung lain, baik berupa Ijma’ maupun lainnya. Kata mereka, dalil logika bersifat qath’i, tidak membutuhkan kesepakatan dan juga tidak terpengaruh dengan adanya perselisihan. Oleh karenanya, menurut mereka, Ijma’ tidak bisa memberi pengaruh sedikitpun pada perkara ‘aqidah.

Sebagian mereka ada yang membedakan antara masalah ‘aqidah yang tidak bisa terlepas dari Ijma’, seperti adanya sang pencipta, keabsahan risalah, kejujuran utusan Allah, dengan masalah ‘aqidah yang tidak membutuhkan terhadap Ijma’, seperti tauhid rububiyah dan umumnya perbuatan Allah. Azza wa Jalla.

Kesimpulannya : Semuanya termasuk bid’ahnya para tokoh ahli kalam dan ahli filsafat yang mencemari hukum-hukum Islam melalui jasa sebagian ulama ushul fiqih, karena mereka membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syar’i dan ilmu logika. Dengan begitu, mereka menganggap bahwa kebanyakan ushuluddin tetap berdasarkan gagasan dan penemuan logika. Sedangkan penemuan akal bersifat qath’i berbeda dengan ketetapan syariat. Sehingga terjadi pertentangan harus mendahulukan dalil ‘aqli dari pada dalil syar’i, karena –menurut mereka- akal lebih mulia dan utama dari pada syariat.

Sebagian ulama Hanafi menolak adanya Ijma’ dalam masalah ghaib yang belum terjadi, seperti tanda-tanda kiamat, alam akhirat dan semisalnya. Alasan, karena yang demikian itu termasuk perkara ghaib yang tidak ada medan ijtihad, dan sama sekali tidak bisa dijangkau oleh pendapat manusia.

Jawabannya: Ijma’ bisa menjadi hujjah dalam masalah ‘aqidah karena terhimpunnya dalil-dalil dalam satu masalah yang berakhir dengan Ijma’, dan itu sangat mungkin terjadi. Sehingga masuknya Ijma’ dalam masalah ‘aqidah, berperan untuk menguatkan dan mengikat sangatlah mungkin. Adapun menolak anggapan salah (tidak adanya Ijma’) dalam masalah ‘aqidah, karena dasarnya dalil zhanni. Anggapan ini lenyap berkat dukungan Ijma’ yang mengangkat menjadi qath’i. Sejumlah ulama Islam telah menyatakan, Ijma’ bisa menjadi hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seperti halnya Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm rahimahullah, meskipun dalam hal-hal tertentu ada perbedaan di antara mereka.

Syaikhul-Islam rahimahullah dalam mensifati Ahli Sunnah wal-Jamaah, beliau rahimahullah berkata: “Mereka dinamakan Ahli Sunnah wal-Jamaah karena mereka sekelompok jamaah yang sepakat berada di atas kebenaran yang menjadi lawan dari firqah, yaitu kelompok perpecahan. Ijma’ menjadi dasar ketiga dan sebagai pedoman dalam ilmu dan agama, sehingga Ahli Sunnah menimbang seluruh masalah agama, baik ucapan dan perbuatan dhahir maupun batin yang terkait dengan agama berdasarkan tiga landasan itu”. [31]

Akan tetapi, Ijma’ yang penuh dengan kepastian hanyalah Ijma’ generasi Salafush-Shâlih, karena setelah generasi mereka banyak terjadi perselisihan dan para ulama telah menyebar di seluruh penjuru dunia.
Wallahu Ta’ala a’lam bish-Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syarhul-Waraqât, Ibnu Firkan (hlm. 240), al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan (hlm. 154).
[2]. Raudhatun-Nadzir, Ibnu Qudamah (2/130), Mudzakirah fi Ushul Fiqih, Syaikh asy-Syinqithi (hlm. 179), Irsyadul-Fuhul, Imam Syaukani (hlm. 71).
[3]. Imam Hakim dalam Mustarak-nya (1/115-117), dan sanadnya dinyatakan bagus oleh Syaikh al-Albâni. Lihat Sunnah Ibnu Abu ‘Ashim (1/80).
[4]. Al-Jami’ li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan, hlm. 154.
[5]. Ibid.
[6]. Al-Ihkam fî Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm, 4/ 550.
[7]. Masadirul-Istidalal ‘ala Masa`il-I’tiqâd, ‘Utsman bin Ali Hasan, hlm. 50-51.
[8]. Majmu’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah, 20/10.
[9]. Mustashfa, Abu Hamid al-Ghazali, 1/174.
[10]. Al-Ihkam fî Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm, 4/544.
[11]. Tafsir Ahkamul-Qur`ân, Imam al-Qurthubi (5/367), Tafsir Ibnu Katsir (1/842).
[12]. Shahîh, diriwayatkan Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5).
[13]. Ar-Risalah, Imam asy-Syafi’i, hlm. 475.
[14]. Sanadnya jayyid, diriwayatkan Imam Ibnu ‘Ashim dalam Sunnah-nya (85). Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dari dua jalan, dan salah satu jalurnya para perawinya terpercaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Majma Zawa`id (5/219).
[15]. Mustashfa, Abu Hamid al-Ghazali, 1/175.
[16]. Shahîh, diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîh-nya (7311), Imam Muslim dalam Shahîh-nya (4927), at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2229), dan Ibnu Majah dalam muqadimah Sunan-nya (10).
[17]. Al-Minhaj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, 13/69.
[18]. Shahîh, diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3950) dan al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul- Mashabih (174). Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2167), al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-Mashabih (174), dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya (391, 392, 393, 394, 395, 396 dan 397) dari Ibnu ‘Umar dengan lafazh: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku atau umat Muhammad di atas kesesatan”. Hadits ini dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam al-Miskât (no. 173) dan terdapat shahid dari hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan at-Tirmidzi dan al-Hakim serta yang lainnya dengan sanad yang shahîh. Lihat Shahîhul Jami’, al-Albâni (1/378, no. 1848).
[19]. Al-Jami’ li Ahkam wa Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan, hlm. 156.
[20]. Majmu’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah, 19/271.
[21]. Ar-Risalah, Imam asy-Syafi’i, hlm. 457-458.
[22]. Mukhtashar Shawa`iqul-Mursalah, 2/ 611-612.
[23]. Ibid., 2/612.
[24]. Masadirul-Istidalal ‘ala Masa`il-I’tiqâd, hlm. 55-56.
[25]. Majmu Fatâwâ wa Maqalâtun Mutanawi’ah (4/169) dan Manhaj Syaikh Bin Bâz (hlm. 220-221).
[26]. Syarah ‘Aqidah Wasithiyah li Syaikhul-Islam, Syaikh Fauzan (hlm. 159), Majmu Fatâwâ wa Maqalâtun Mutanawi’ah (8/427), Manhaj Syaikh Bin Bâz (hlm. 221), dan Ushul Fiqih Islami, Dr. Wahbah Zuhaili (1/501).
[27]. Mudzakirah Ushul Fiqih, Syaikh Syinqithi, hlm. 179.
[28]. Masadirul-Istidalal ‘ala Masail-I’tiqâd, Syaikh ‘Utsman Ali Hasan, hlm. 56-57.
[29]. Al-Ihkam fii Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm, 4/553.
[30]. Masadirul-Istidalal ‘ala Masail-I’tiqaad, Syaikh ‘Utsman Ali Hasan, hlm. 60.
[31]. Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 3/157.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2944-peran-ijma-dalam-penetapan-hukum-islam.html